CSP Adv

18 October 2010

Tentang Delik Pembantuan dalam Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 UU PTPK jo. Pasal 56 KUHP)

Dalam catatan kali ini penulis akan mengetengahkan tentang kedudukan Pasal 15 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 (selanjutnya disebut UU PTPK) terhadap Pasal 56 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kaitannya dengan penuntutan tindak pidana pembantuan terhadap delik korupsi.

pic: matanews.com
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) memuat hukum pidana formil dan materiil yang bersifat khusus sementara ketentuan pidana yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan hukum pidana materil yang bersifat umum.


Dalam ilmu hukum dikenal suatu doktrin yang telah diterima luas yakni asas “Lex specialis derogat legi generali, yaitu asas yang pada pokoknya menegaskan aturan khusus mengenyampingkan aturan umum dimana jika asas tersebut dikaitkan dengan topik artikel ini maka hukum pidana materil yang termuat dalam UU PTPK mengenyampingkan hukum pidana materil dalam KUHP.

Sehubungan dengan itu, Pasal 15 UU PTPK mengatur :
Setiap orang yang melakukan percobaan (Pasal 53 ayat 1 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) atau permufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Lalu dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan :
Ketentuan dalam Pasal 15 merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidananya.
Pasal ini menegaskan, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pembantuan terhadap Delik Korupsi baik dalam Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU PTPK harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK bukan dengan Pasal 56 KUHP seperti yang telah dikemukakan di atas. Adapun mengenai pemberatan ancaman pidana - dalam delik pembantuan tersebut - menurut penulis - merupakan konsekuensi logis dari sifat tindak pidana korupsi yang telah disepakati yaitu bersifat extra ordinary crime (kejahatan luar biasa : terjemahan bebas penulis) sehingga tindak pidana ikutan yang terkait dengan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang lebih berat dari ancaman dalam KUHP.

Namun demikian - di sisi formil - dalam hal jika terjadi kekeliruan penuntutan terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pembantuan terkait dengan delik korupsi dimana dalam surat dakwaan pelaku tersebut didakwa dengan Pasal 56 KUHP bukan dengan Pasal 15 UU PTPK, maka penulis memandang kekeliruan tersebut tidak merugikan kepentingan terdakwa dalam rangka membela dirinya karena unsur inti dari Pasal 56 KUHP termasuk salah satu unsur inti dari Pasal 15 UU PTPK yaitu unsur pembantuan, sehingga demi kepentingan keadilan subtantif dengan tanpa mengorbankan hak-hak terdakwa di salah satu sisi dan dengan tanpa pula mengkebiri rasa keadilan masyarakat di sisi lain, surat dakwaan yang demikian itu seyogyanya tidak serta merta dinyatakan tidak dapat diterima atau batal demi hukum.