CSP Adv

29 October 2010

Kisruh SKPP vs Deponeering, apa bedanya ya?


Beberapa bulan terakhir ini media massa dipenuhi dengan berita yang terkait tentang Anggodo, Bibit dan Chandra berikut persoalan hukum yang terkait diantara mereka. Termasuk masalah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dari pihak kejaksaan atas perkara Bibit-Chandra yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat mengabulkan permohonan praperadilan Anggodo (19/4).

Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai SKPP tidak dapat dikeluarkan dengan alasan sosiologis. Kejaksaan tidak tinggal diam, lembaga itu mengambil upaya hukum atas putusan tersebut, mulai dari upaya hukum biasa yaitu banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang hasilnya, oleh Majelis Hakim Banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dikuatkan (3/6). Kejaksaan Agung pun menempuh upaya hukum luar biasa dengan meminta Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan pengadilan tinggi, namun MA menolak permohonan PK tersebut.

Habis sudah upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan praperadilan tentang batalnya SKPP atas kasus Bibit-Chandra inkracht sudah. Hari ini, Jum'at (29/10) Jaksa Agung mengumumkan sikapnya, langkah deponeering diambil, perkara Bibit-Chandra dikesampingkan demi kepentingan umum.

Catatan ini tidak akan mengomentari putusan hakim dan tidak dimaksudkan untuk menilai kebijakan deponeering Jaksa Agung. Di sini penulis akan mengetengahkan perbedaan SKPP dan Deponeering ditinjau dari aspek hukumnya.

Dasar Hukum Kewenangan Jaksa Agung Menghentikan Penuntutan dan/atau Mengesampingkan Perkara
 
Salah satu kewenangan umum Jaksa Agung/Jaksa di bidang pidana selaku Penuntut Umum berdasarkan Pasal 32 Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo. Pasal 140 ayat (2) huruf a Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana adalah membuat surat penetapan penghentian penuntutan dengan alasan :
  1. tidak terdapat cukup bukti;
  2. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
  3. perkara ditutup demi hukum.
Ad. 1 Tidak terdapat cukup bukti
Pembuktian dalam perkara pidana terikat dalam sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan. Dalam hal, Penuntut Umum mengganggap suatu perkara ternyata tidak memenuhi syarat pembuktian tersebut maka alasan ini yang digunakan untuk menerbitkan SKPP.
Ad. 2 Peristiwa tersebut bukan tindak pidana
Apabila Penuntut Umum menilai suatu peristiwa yang terjadi ternyata tidak termasuk dalam ranah pidana, misalnya termasuk masalah dalam ranah keperdataan maka alasan ini yang diambil untuk menerbitkan SKPP.
Ad 3 Perkara ditutup demi hukum
Perkara ditutup demi hukum antara lain berkaitan dengan gugurnya hak Penuntut Umum untuk menuntut, karena :
  • Perkara ternyata ne bis in idem (Pasal 76 KUHP)
  • Si tertuduh meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
  • Perkara telah daluarsa (Pasal 78 KUHP)
Dari tiga alasan yang dibenarkan oleh KUHAP untuk dijadikan dasar penerbitan (SKPP) oleh Jaksa Agung/Jaksa selaku Penuntut Umum di atas dapat kita pahami bahwa alasan sosiologis tidak termasuk di dalamnya.

Adapun kewenangan khusus Jaksa Agung antara lain sebagaimana dalam Pasal 35 huruf c Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Selanjutnya silahkan baca catatan saya tentang kewenangan khusus Jaksa Agung untuk mendeponir perkara itu di sini.

Semoga uraian di atas dapat memberikan sedikit pencerahan sehingga kita dapat membedakan dalam kewenangan Jaksa Agung/Jaksa sebagai Penuntut Umum di bidang pidana antara kewenangan menghentikan penuntutan (SKPP) dengan kewenangan khusus Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering), yang memang, secara umum dari kaca mata awam, bila dikaitkan dengan kasus Bibit-Chandra, antara deponeering dan SKPP tidak jauh berbeda karena akhirnya kasus Bibit-Chandra sama-sama tidak dilanjutkan ke pengadilan.