CSP Adv

7 April 2010

Memilah Kewenangan Absolut Peradilan Umum dalam Praktek Peradilan Perdata



Pendahuluan 

Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[1] 

Kekuasaan Kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[2]

Adapun kewenangan/kompetensi absolut (yurisdiksi) masing-masing badan peradilan di empat lingkungan peradilan diatur sebagai berikut:[3]  
  • Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata
  • Peradilan agama memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam.
  • Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer.
  • Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara 
Dalam praktek peradilan perdata terdapat titik singgung kewenangan absolut (yurisdiksi) peradilan umum dengan peradilan agama dan antara peradilan umum dengan peradilan tata usaha negara karena kewenangan ketiga lingkungan peradilan tersebut berada di dalam satu genus hukum yang sama yaitu hukum perdata dalam arti luas (lawan dari hukum pidana). Adapun dengan lingkungan peradilan militer tidak mungkin terdapat titik singgung yurisdiksi karena memang kewenangan lingkungan peradilan militer tentang tindak pidana militer saja.  

Lebih jauh tercatat dalam praktek bahwa pokok perkara dalam gugatan perdata[4] yang diterima dan diperiksa di lingkungan peradilan umum dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu sengketa karena adanya wanprestasi atau sengketa karena adanya perbuatan melawan hukum ditambah dengan permasalahan tentang perceraian berikut akibat hukumnya. Sementara itu yurisdiksi peradilan agama juga meliputi wanprestasi (dalam sistem ekonomi berbasis syari'ah) dan perbuatan melawan hukum (a.l. sengketa waris) serta perkara mengenai perceraian berikut akibat hukumnya khusus bagi mereka yang beragama Islam. Di lain sisi peradilan tata usaha negara memiliki kewenangan dalam sengketa tentang keputusan tata usaha negara yang telah bersifat final, konkrit dan individual.

Titik singgung yurisdiksi antar badan peradilan di ketiga lingkungan peradilan tersebut di atas menimbulkan potensi sengketa kewenangan yang biasanya mengemuka dalam eksepsi pihak tergugat dengan menyatakan gugatan penggugat tidak termasuk yurisdiksi badan peradilan di lingkungan peradilan umum melainkan termasuk yurisdiksi badan peradilan di lingkungan peradilan lain sehingga gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima/NO. Perlu diketahui, eksepsi tentang yurisdiksi/kompetensi ini oleh Majelis Hakim harus diputus terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara.

Untuk memahami bagaimana potensi sengketa kewenangan mengadili tersebut dalam praktek peradilan dan bagaimana memilah apakah suatu gugatan termasuk yurisdiksi peradilan umum atau bukan, akan dikemukakan contoh kasus di bawah ini.

A, B, dan C adalah tiga bersaudara yang beragama Islam - anak kandung Almarhum D yang juga beragama Islam - dimana A mengklaim memiliki sebidang tanah yang diperoleh dengan cara waris dari Almarhum D, tanah mana telah dibagi waris dengan saudara-saudaranya. A menggugat Q (tidak mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah maupun semenda dengan A, B, C dan almarhum D) karena telah menguasai tanah tersebut dengan melawan hukum dan menarik kantor badan pertanahan setempat sebagai turut tergugat (Q2) karena tanah objek sengeketa telah dilengkapi dengan sertifikat hak milik atas nama T. Dalam petitum gugatannya, A meminta kepada pengadilan negeri agar memutus antara lain:
  1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
  2. Menyatakan A, B dan C adalah ahli waris yang sah dari Alm. D.
  3. Menyatakan tanah objek sengketa adalah harta warisan dari Alm. D.
  4. Menyatakan Q telah melakukan perbuatan melawan hukum.
  5. Menghukum Q agar menyerahkan tanah objek sengketa kepada A.
  6. Menyatakan Sertifikat Hak Milik atas nama Q batal demi hukum.
  7. dan lain  lain. 
Sementara itu dalam eksepsinya, Q dan Q2 meminta agar gugatan A dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan antara lain :
  1. Pengadilan negeri tidak berwenang mengadili gugatan a quo karena petitum gugatan berisi permintaan A agar tanah tersebut diserahkan kepadanya sebagai ahli waris sehingga pengadilan harus terlebih dahulu menentukan masalah pembagian warisannya, padahal yang berwenang memutus pembagian waris adalah peradilan agama.
  2. Pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara a quo karena yang sertifikat hak milik atas tanah adalah produk keputusan tata usaha negara dimana sengketa mengenai keputusan tata usaha negara adalah kewenangan peradilan tata usaha negara bukan kewenangan peradilan umum.
Selanjutnya berdasarkan contoh kasus di atas penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam catatan ini yaitu : 
Apakah pengadilan negeri dapat memeriksa dan mengadili perkara a quo atau seluruh gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan kompetensi absolut?

Memilah Kewenangan Absolut Peradilan Umum

Dilihat dari contoh kasus di atas maka dapat kita rumuskan duduk perkaranya bahwa pokok permasalahan dalam gugatan A terhadap Q berdasarkan dalil perbuatan melawan hukum. Jadi di sini terdapat sengketa hak antara A dengan Q. Adapun ditariknya Q2 menjadi pihak dalam gugatan A dengan alasan karena atas tanah sengketa telah terbit seritifikat hak milik atas nama A.

Untuk membedah apakah pengadilan negeri berwenang atau tidak berwenang dalam memeriksa dan mengadili gugatan A maka Pasal 132 Rv dapat dijadikan sebagai pisau bedah analisisnya dimana dalam pasal tersebut menegaskan bahwa kewenangan absolut pengadilan negeri harus dilihat pada jenis pokok perkara yang diajukan dalam gugatan.

Berdasarkan Pasal 132 Rv tersebut dihubungan dengan contoh kasus dalam catatan ini maka dapat disimpulkan jenis pokok perkara dalam gugatan yang bersangkutan adalah sengketa hak milik atas sebidang tanah bukan mengenai pembagian warisan. Menurut hukum penyelesaian sengketa hak milik atas tanah sengketa adalah termasuk kewenangan absolut peradilan umum dan benar masalah pembagian warisan untuk orang Islam merupakan kompetensi absolut lingkungan peradilan agama. Namun demikian walaupun dalam petitum juga diminta penentuan siapa dan bagaimana pembagian ahli waris yang sah tidaklah serta merta menghalangi pengadilan negeri memeriksa perkara itu sepanjang mengenai sengketa hak miliknya.

Sehubungan dengan itu, yurisprudensi menyatakan apabila terdapat sengketa milik atas objek perkara, penyelesaian sengketa milik tetap menjadi kewenangan peradilan umum sedangkan sengketa pembagian warisannya merupakan yurisdiksi peradilan agama.[5]

Demikian pula mengenai pembatalan sertifikat hak milik atas tanah yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah memang tidak termasuk kewenangan peradilan umum melainkan kewenangan instansi itu sendiri yang dapat digugat melalui pengadilan tata usaha negara dalam suatu surat gugatan.[6]  Namun demikian, adanya tuntutan pembatalan sertifikat tanah tersebut dalam petitum gugatan A tidak menghilangkan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili gugatan karena jenis pokok perkara dalam gugatan yaitu sengketa milik atas tanah adalah termasuk yurisdiksi peradilan umum sebagaimana telah diuraikan di atas.

Penutup/Simpulan

Dari uraian pembahasan di atas maka diambil beberapa simpulan sebagai berikut :
  1. Kewenangan absolut peradilan umum harus dilihat pada jenis pokok perkara yang diajukan dalam gugatan.
  2. Apabila terdapat sengketa milik atas objek gugatan, penyelesaian sengketa milik tetap menjadi kewenangan peradilan umum sedangkan sengketa pembagian warisannya merupakan yurisdiksi peradilan agama.
  3. Pembatalan sertifikat hak milik atas tanah yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah memang tidak termasuk kewenangan peradilan umum melainkan kewenangan instansi itu sendiri yang dapat digugat melalui pengadilan tata usaha negara dalam suatu surat gugatan.
  4. Adanya tuntutan pembagian waris atau pembatalan sertifikat tanah dalam petitum suatu gugatan tidak menghilangkan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut sepanjang jenis pokok perkara dalam gugatan adalah termasuk yurisdiksi peradilan umum 

Daftar Bacaan
Abdul Kadir Muhammad, Prof.S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.
Ali Boediarto, S.H., (ed), Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata. Penerbit: Varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta. 2003.
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan). Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2005.
Ropaun Rambe (ed), Hukum Acara Perdata Lengkap. Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006.

______________________________________
1Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
2Pasal 18 jo. Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3Pasal 25 ayat (2), jis ayat (3) s/d ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4Gugatan dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Gugatan yang disebutkan terakhir biasa juga disebut gugatan perdata, baca Mengenal Prinsip Prinsip Pemeriksaan Gugatan Voluntair dan Gugatan Contentiosa 
5Putusan MA No. 132 K / Pdt / 1993 
6Putusan MA No. 350 K / Sip / 1968