CSP Adv

12 October 2010

Identifikasi Permasalahan Teknis Yuridis di Pengadilan Negeri Tolitoli Tahun 2010



Masalah 1:

Terjadi perbedaan pendapat tentang penerapan Pasal 5 jo. Pasal 44 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yakni apakah mempunyai kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata, dan atau apakah dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik hanya dapat dijadikan alat bukti petunjuk atau merupakan perluasan pembuktian dalam hukum acara pidana.

Pembahasan: 

Sejalan dengan UU ITE maka dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik dengan persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam undang-undang harus diperlakukan sebagai perluasan alat bukti yang dikenal dalam hukum acara baik perdata maupun pidana.

Saran:

Perlu petunjuk dari Mahkamah Agung untuk penyeragaman presepsi mengenai hukum acara pembuktian terkait Pasal 5 jo Pasal 44 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Masalah 2 :

Pihak Penyidik masih menuntut dengan dakwaan Pasal 315 KUHP untuk diperiksa dengan acara cepat yang seharusnya dituntut dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat 1 UU No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pembahasan :

Dengan diundangkannya UU ITE maka semua tindak pidana yang melibatkan dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik yang memuat penghinaan/pencemaran nama baik harus dituntut dengan menggunakan UU dimaksud.

Saran :

Perlu adanya kesepahaman antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia mengenai penerapan No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Masalah 3 :

Masih terjadi dalam proses penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri tidak mengeluarkan penetapan mengenai status barang bukti berupa narkotika/prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pembahasan :

Pasal 101 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menetapkan alat atau barang yang digunakan dalam tindak pidana narkotika dinyatakan dirampas untuk negara dengan memperhatikan Penetapan Kepala Kejaksaan dalam proses penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 UU tersebut. Dalam hal kepala kejaksaan tidak menggunakan kewenangannya maka Hakim berwenang untuk menetapkan barang bukti tersebut dimusnahkan.

Saran :

Perlu adanya kesepahaman antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia mengenai penerapan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Masalah 4 :

Apakah tersangka/terdakwa yang disangka melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pembahasan :

Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP  menggariskan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Selanjutnya pada huruf b pasal tersebut disebutkan tindak pidana lainnya yang pelakunya dapat dilakukan penahanan sebagai pengecualian dari Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP tersebut yaitu antara lain Pasal 351 ayat (1) KUHAP.

Sementara itu, Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diancam dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak 72 juta rupiah sehingga tidak termasuk dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a dan tidak disebutkan secara dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b.

Bila ditilik lebih jauh, unsur inti tindak pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sama dengan dalam Pasal 351 ayat (1) yaitu unsur “penganiayaan” bahkan dalam Pasal UU Perlindungan Anak tersebut lebih berat lagi dengan dirumuskannya unsur “kekejaman” sehingga seharusnya atas diri tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana ini dapat dilakukan penahanan.

Saran :

Terhadap kekosongan hukum ini perlu adanya sikap dari Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung.