CSP Adv

14 October 2010

Istri Menggugat Cerai, Tidak Perlu Izin Suami

Artikel ini adalah jawaban penulis atas pertanyaan member Blawg Catatan Sang Pengadil dalam forum Admin Menjawab. Pertanyaan tersebut pada pokoknya sebagai berikut : "Apakah Istri (PNS) yang ingin menggugat cerai harus mendapat izin dari suami?"
Setiap warga negara Indonesia tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai perceraian diatur dalam Pasal 39 UU tersebut yaitu 
ayat (1) : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan 
ayat (2) : Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Sementara itu, berdasarkan ayat (3) pasal tersebut di atas mengenai tata cara perceraian diatur melalui peraturan pemerintah (PP). Selanjutnya, mengenai alasan perceraian sebagaimana tersebut di atas diatur dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 : "Jika antara Penggugat dan Tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga."

Oleh karena Sang Istri berstatus Pegawai Negeri Sipil maka ia tunduk pada PP No. 10 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 3 PP tersebut diatur sebagai berikut :
ayat (1) : Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
ayat (2) : Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;
ayat (3) : Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya".

Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud di atas jelas bisa berstatus istri atau bisa juga berstatus suami. Dalam hal si istri beragama Islam, ia dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, sedangkan jika non muslim diajukan ke Pengadilan Negeri.

Adapun akibat hukum bagi PNS yang tidak mengindahkan aturan tentang izin perceraian tersebut dan tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS (PP ini sudah dirubah dengan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS) [vide: Pasal 15 ayat (1) PP No. 45 Tahun 1990 tersebut di atas].

Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Adapun tingkat hukuman disiplin adalah sebagai berikut:
  1. Hukuman disiplin ringan,
  2. Hukuman disiplin sedang, dan
  3. Hukuman disiplin berat.
Adapun hukuman disiplin berat, terdiri atas :
  1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
  2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
  3. Pembebasan dari jabatan;
  4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
  5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
    Sehubungan dengan itu, perlu dikemukakan di sini bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (vide: Pasal 1 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

    Dengan demikian kewajiban bagi PNS untuk mendapat izin cerai dari atasannya tidak menghalangi pemeriksaan perkara perceraian di Pengadilan dan bukan menjadi alasan untuk tidak menerima (NO) apalagi menolak gugatan cerai yang didaftarkan tersebut melainkan dikembalikan kepada PNS/Penggugat yang bersangkutan apakah ia mau mengambil risiko akibat hukum tindakan indisipliner tersebut atau tidak.

    Dalam praktek, penggugat diingatkan akan risiko hukuman disiplin berat tersebut dan diberi waktu untuk mengurus perizinan yang dimaksud. Dalam hal Penggugat menyatakan dengan tegas akan menerima segala akibat hukumnya maka persidangan dilanjutkan. (baca artikel terkait dalam bLAWg ini : Pembuktian Dalam Perkara Perceraian Dengan Alasan Sebagaimana Dalam Pasal 19 Huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 oleh Marwan Wahdin, S.HI)

    Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas maka  :
    1. Bahwa menggugat cerai tidak butuh izin dari suami.
    2. Sudah tidak tinggal bersama lagi karena tidak rukun dan tidak dapat dirukunkan lagi dalam suatu rumah tangga adalah salah satu alasan cerai.
    Jadi, si istri dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi yang muslim/Pengadilan Negeri bagi non muslim) walaupun suami tidak mengizinkan. 

    *Gambar : serujadiguru.blogdetik.com