CSP Adv

10 October 2010

Pembuktian Dalam Perkara Perceraian Dengan Alasan Sebagaimana Dalam Pasal 19 Huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975


Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan di muka Pengadilan, Hakim akan menempuh langkah-langkah yaitu, mengkonstatir segala peristiwa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, kemudian peristiwa-peristiwa yang telah dikonstatir tersebut selanjutnya akan dikwalifisir (dicocokkan/ditemukan hukumnya yaitu peraturan-peraturan hukum yang tersedia/hukum positif) dengan pola sylogisme dan akhirnya mengkonstituirnya (menetapkan hukumnya/ mengadili).


Dengan demikian maka langkah yang sangat menentukan dalam mengambil suatu keputusan adalah pada tahap mengkonstatir (konstatiering), karena apabila terjadi kesalahan dalam mengkonstatir peristiwa-peristiwa yang diajukan kepadanya, maka seluruh proses selanjutnya (kwalifisir dan konstituir) juga akan ikut salah yang pada akhirnya keadilan sebagai tujuan akhir yang diharapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu Hakim dituntut untuk hati-hati, teliti dan seksama dalam mengkonstatir peristiwa-peristiwa dalam suatu perkara yang sedang diperiksanya.
Tujuan yang ingin dicapai pada tahap konstatiering ini adalah untuk menemukan fakta di persidangan, dan menemukan fakta adalah tujuan akhir dari tahapan proses persidangan sejak tahap jawab menjawab sampai dengan tahap pembuktian. Karena dari fakta yang ditemukan inilah Hakim akan mendasarkan pertimbangannya untuk menjatuhkan putusan terhadap perkara yang sedang diperiksanya.

Dengan demikian, maka mengkonstatir peristiwa, tempatnya ada pada dua tahap yaitu pada tahap jawab menjawab dan pada tahap pembuktian.

Pada konstatiering saat tahap jawab menjawab, Hakim cukup melihat kenyataan yang terjadi di persidangan yaitu, dalil Penggugat mana yang diakui oleh Tergugat, dan dalil Tergugat mana yang diakui oleh Penggugat. Selanjutnya dalil-dalil yang diakui tersebut akan dinyatakan sebagai dalil yang tetap (dalil yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut) karena apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lain, maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya (Prof. Subekti, SH. 1975: 49) dan dengan mengaku, maka para pihak tidak memungkinkan Hakim memberikan pendapatnya tentang objek dari pengakuan (Prof. Mr. Pitlo. Jakarta, 1978: 150).

Namun para pihak yang sedang bersengketa di muka pengadilan, dalil-dalil yang diajukannya pada umumnya saling bertentangan, di mana dalil Penggugat dibantah oleh Tergugat, demikianpun sebaliknya bantahan Tergugat disangkal oleh Penggugat, oleh karenanya untuk mengetahui dalil siapa yang benar, di sinilah peran Hakim dituntut ketelitiannnya dan kehati-hatiannya dalam mengkonstatir peristiwa-peristiwa yang didalilkan para pihak tersebut, yaitu ketika akan menentukan kepada siapa pembuktian dibebankan, dan dalam menilai alat bukti yang diajukan para pihak.

Sebagaimana pengertian dari pembuktian itu sendiri yaitu “upaya para pihak untuk meyakinkan Hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa” (Dr. H. Abd. Manan, SH S.IP. M.Hum. 2006: 227), maka bagi Hakim pembuktian adalah bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara kepadanya. Artinya bila Penggugat berhasil membuktikan dalilnya, maka peristiwa yang didalilkan Penggugatlah yang dianggap peristiwa yang benar telah terjadi, demikianpun sebaliknya bila Tergugat berhasil membuktikan dalil bantahannya, maka peristiwa yang didalilkan Tergugatlah yang dianggap benar telah terjadi, tentunya berdasarkan alat bukti yang diakui oleh Undang-undang dan Hukum Acara.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tugas Hakim dalam mengkonstatir peristiwa di persidangan adalah “menentukan peristiwa mana yang benar di antara semua peristiwa yang didalilkan oleh para pihak” dengan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan pihak-pihak yang berperkara kepadanya, yaitu dengan mempertimbangkan secara seksama apakah alat-alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang beperkara tersebut telah memenuhi batas minimal pembuktian dan memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti dan apakah bukti tersebut telah cukup mendukung persitiwa-peristiwa yang didalilkannya. Demikianlah juga yang berlaku dalam mengkonstatir peristiwa dalam perkara perceraian yang diajukan di muka pengadilan.

Dalam perkara perceraian dengan alasan gugatan yang disandarkan pada alasan sebagaimana dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka fakta yang akan ditemukan dalam persidangan yaitu apakah benar “antara Penggugat dan Tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” atau tidak.

Jika dalam persidangan ternyata Tergugat mengakui secara murni dalil Penggugat tersebut, maka sebagaimana yang telah diuraikan di muka, dalil tersebut dinyatakan sebagai dalil yang tetap dan tidak perlu lagi dibuktikan. Namun sebagai catatan, oleh karena dalam perkara perceraian sangat rawan terjadinya penyelundupan hukum, maka praktek sebagian besar praktisi yang tetap membebankan pembuktian meskipun gugatan telah diakui secara murni dan bulat, tetap dapat dibenarkan, karena hal ini bertujuan untuk memenuhi azas mempersulit perceraian sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Angka 4 huruf e dan untuk menghindari kemungkinan adanya pengakuan pura-pura karena motif persepakatan cerai yang tidak dianut dan tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Namun menurut hemat penulis, pembuktian dalam hal ini bukanlah benar-benar untuk membuktikan dalil Penggugat, melainkan pembuktian dalam hal ini hanyalah bertujuan agar jangan sampai terdapat indikasi bahwa pengakuan Tergugat terhadap dalil-dalil Penggugat semata-mata didasarkan karena motif persepakatan cerai yang mengarah kepada penyelundupan hukum.

Lain halnya jika ternyata dalam persidangan dalil gugatan tersebut di muka dibantah oleh Tergugat, maka berdasarkan Pasal 283 R.Bg., Penggugat harus dibebani untuk membuktikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar telah terjadi. Namun dalam membebankan kewajiban siapa yang harus membuktikan dan apa yang harus dibuktikan, tidak dilakukan dengan begitu saja memberikan kepada salah satu pihak suatu kewajiban pembuktian. Karena apabila dengan ceroboh (tanpa pertimbangan yang sungguh-sungguh) memberikan suatu kewajiban untuk membuktikan sesuatu hal kepada satu pihak yang berperkara (apalagi terhadap suatu hal di luar kemampuannya), akan dapat menimbulkan kerugian yang diderita oleh pihak yang dibebani pembuktian itu. Kerugian yang dapat timbul itu jikalau ia tidak dapat membuktikan terhadap apa yang dibebankan kepadanya, dan pada akhirnya gugatan akan ditolak atau setidak-tidaknya dia akan dirugikan (Teguh Samudera, SH. 1992: 21).

Mengingat akan hal tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan dalam membebankan dan mempertimbangkan pembuktian dalam perkara perceraian dengan alasan “pertengkaran dan perselisihan yang terjadi secara terus menerus”, menurut penulis adalah hal-hal sebagai berikut :

  1. Bahwa peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga hanya dimungkinkan dibuktikan dengan bukti saksi (peristiwa pertengkaran tidak dimungkinkan dibuktikan dengan bukti surat/ akta), sementara pada bukti saksi melekat syarat formil dan materil yang salah satu syaratnya adalah keterangan saksi hanya terbatas mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri oleh saksi atau dilihat sendiri oleh saksi atau didengar sendiri oleh saksi. Di sisi lain peristiwa pertengkaran yang akan dibuktikan bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja dan terjadi di satu tempat, melainkan pertengkaran yang terjadi secara berkesinambungan/ secara terus menerus dan terjadi tanpa proses perencanaan. Maka secara logika sangat sulit terjadi ada sesorang yang dapat melihat langsung seluruh rangkaian peristiwa pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga orang lain, sehingga sangat sulit untuk mendatangkan saksi untuk membuktikannya. Lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “peristiwa jual beli”. Terhadap yang terakhir ini mudah saja dibuktikan dengan bukti saksi, karena peritiwa yang didalilkan itu adalah peristiwa yang terjadinya dalam satu ruang dan waktu dan telah direncanakan sebelumnya, Terlebih lagi bahwa dalam jual beli, para pihak yang terlibat di dalamnya pada umumnya sengaja membuat surat/ akta mengenai terjadinya peristiwa jual beli itu, baik itu berupa akta otentik maupun akta bawah tangan, sehingga bila terjadi sengketa, peristiwa tersebut sangat dimungkinkan dibuktikan dengan bukti surat.
  2. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa sangat kecil kemungkinan terjadi sepasang suami isteri mau bertengkar di depan orang lain karena bila terjadinya Pertengkaran antara suami isteri disaksikan oleh orang lain akan mengakibatkan malu (aib) bagi suami isteri yang bertengkar itu, sehingga pada umumnya suami isteri yang bertengkar tersebut sengaja tidak menampakkan/ tidak mempertontonkan pertengkarannya dan bahkan berusaha menutup-nutupi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangganya agar tidak diketahui oleh orang lain. Dengan demikian maka peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga sangat sulit diketahui secara langsung oleh orang lain selain kedua belah pihak yang bersangkutan, sehingga untuk membuktikannya dengan saksi sangat sulit. Lain halnya dengan peritiwa perdata lainnya misalnya “utang piutang” di mana kedua belah pihak sengaja memanggil atau mengundang orang lain untuk menyaksikan perbuatan hukum yang dilakukannya itu. Oleh karenanya pada umumnya saksi yang dihadirkan oleh pihak Penggugat dalam perkara perceraian hanya menerangkan bahwa saksi kebetulan pernah satu kali atau beberapa kali melihat/ mendengar secara langsung peristiwa pertengkaran yang didalilkan itu. Dan adapun jikalau saksi menerangkan bahwa pertengkaran tersebut adalah pertengkaran secara terus menerus, pada umumnya keterangannya itu adalah pendapat atau dugaan saksi belaka atau berdasarkan cerita dari orang lain, dan berdasarkan Pasal 308 R.Bg. yang demikian ini tidak dapat dianggap sebagai kesaksian, dengan demikian apabila dalam membuktikan peristiwa tersebut hanya semata-mata disandarkan pada keterangan saksi-saksi, maka fakta yang ditemukan belum cukup untuk membuktikan alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut.

Dari uraian tersebut di muka, menurut penulis, bila ketentuan kesaksian sebagaimana bunyi Pasal 308 R.Bg. akan diterapkan secara strict untuk membuktikan peristiwa “pertengkaran dalam rumah tangga yang terjadi secara terus menerus” akan menimbulkan kesulitan bagi pihak yang akan membuktikannya. Sementara dalam membebankan pembuktian harus dihindarkan pemebanan pembuktian di luar kemampuan pihak yang dibebani.

Dengan demikian maka agar tidak terjadi pembebanan pembuktian di luar kemampuan pihak yang akan membuktikan dan agar fakta-fakta yang ditemukan di persidangan tetap bersumber dari pembuktian yang sah maka perlu diingat bahwa masih terdapat alat bukti lain yang dibenarkan oleh Hukum Acara selain bukti surat dan saksi yaitu: bukti pengakuan, bukti persangkaan dan bukti sumpah, dan kesemuanya tidak terdapat larangan untuk diterapkan dalam perkara perceraian sepanjang alat-alat bukti tersebut terpenuhi syarat formil dan materilnya.

Namun demikian, oleh karena untuk dapat diterapkannya bukti persangkaan dan sumpah (dalam hal ini sumpah suppletoir) salah satu syaratnya adalah terlebih dahulu harus ada bukti permulaan yang mendahuluinya, sehingga dalam hal ini, pembuktian dengan saksi tetap harus ada dan mesti didahulukan dari pada bukti yang lainnya. Namun kesemuanya ini berpulang pada kebijaksanaan Hakim sendiri karena Jabatannya, karena apakah keterangan-keterangan saksi telah cukup dikategorikan sebagai bukti permulaan atau tidak, tergantung pada kebijaksanaan Hakim dalam menilai keterangan-keterangan saksi.

Kesemuanya ini dimaksudkan agar jangan sampai dalam perkara perceraian, keterangan saksi-saksi bahwa suami isteri telah terjadi pertengkaran yang terjadi secara terus menerus, diterima mentah-mentah begitu saja tanpa mempertimbangkan alasan bagaimana saksi mengetahui peristiwa itu. Karena bagaimanapun juga, dalam menilai keterangan saksi, Hakim tetap terikat dengan Hukum Acara yang berlaku sebagaimana digariskan dalam Pasal 306 sampai dengan Pasal 309 R.Bg.

Sehingga dengan demikian, keterangan-keterangan mengenai bagaimana saksi mengetahui segala peristiwa yang diterangkannya (peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri oleh saksi), harus termuat dalam dalam Berita Acara Persidangan, karena bila tidak demikian, maka Hakim akan sulit untuk menilai keterangan-keterangan saksi tersebut.

Dengan demikian maka dalam pembuktian dalam perkara perceraian tidak akan ada satupun ketentuan dalam Hukum Acara yang akan terlanggar, sehingga pada akhirnya rasa keadilan yang dicita-citakan baik dalam proses pemeriksaan maupun melalui putusan Hakim, akan terwujud.