CSP Adv

29 October 2010

Deponeering, Apa Pula Itu?


Sebentar lagi azan maghrib, saat saya sedang serius mengikuti berita di TV sore ini, breaking news tentang pihak kejaksaan agung yang sedang mengadakan konfrensi pers tentang sikap resmi lembaga itu yang mendeponir kasus Bibit-Chandra menyusul putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) atas perkara Praperadilan Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKPP) kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Saat asyik mansyuk di depan TV, eh, seorang anak tetangga yang kebetulan sedang main di rumah tiba-tiba nyeletuk, "Deponeering, apa pulak itu om?" dengan logat batak yang kental. Tentunya, menjawab pertanyaan itu untuk anak-anak tidak perlu dengan jawaban berbau teknis hukum yang kompleks bin ribet, cukup dijawab, "Deponeering itu nak saat pagi-pagi sebelum sekolah, papamu dilapori sama temanmu, katanya kau bolos kemarin dari sekolah. Papamu tidak langsung marah sama kau karena saat itu kau sudah bersiap pergi sekolah, terlambat pulak kau sampai di sekolah kalau pagi-pagi sudah dapat omelan. Nah, papamu saat itu sedang men-deponir kasus kau."

Jawaban itu memang tidak tepat tapi lumayanlah buat anak kecil untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahunya. Lalu apa sebenarnya deponeering itu? Mari kita sama-sama memahaminya.

Deponeering dalam bahasa undang-undang adalah kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara (deponeering) alias tidak menuntut perkara ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. (lihat : Pasal 35 huruf c Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia beserta penjelasannya).

Lalu apa pula itu asas oportunitas? Sebelum menjelaskan apa itu asas oportunitas, saya ingin bercerita dulu. Di tahun 1998 silam saat saya menginjakkan kaki di Fakultas Hukum Unibersitas Tadulako, saya diperkenalkan dengan asas oportunitas dengan cara yang unik. Ya, unik, karena asas oportunitas diperkenalkan oleh Panitia Orientasi Akademik (Ormik) pada saat itu dengan mengadakan Upacara Bendera ala Oportunis. Apanya yang unik? Haha, yang unik dari upacara itu karena semua unsur upacara, mulai dari inspektur, bendera yang dinaikkan, sampai dengan peserta berperan sebagai banci. Apa, banci? Ya, banci. Para senior menyikapi asas oportunitas sebagai sisi feminim dari hukum karena dengan kacamata asas oportunitas, maxim "tegakkan hukum hari ini walau esok langit akan runtuh" menjadi kabur dan kehilangan pegangan tergantung kepentingan besar pada saat itu dengan dalih kepentingan umum.

Ditinjau dari bahasa kamus (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang dimaksud dengan oportunitas adalah kesempatan yang baik untuk berbuat sesuatu; waktu yang tepat; peluang. Asas Oportunitas mengakar pada mazhab oportunisme yaitu, paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu. Dari pengertian oportunitas dan oportunisme tersebut sepintas kita dalam melihat keterkaitannya dengan ajaran utility hukum atau asas manfaat dari hukum. Bicara tentang manfaat tentu berhubungan dengan mudharat. Tegasnya, jika asas oportunitas dihubungkan dengan diskresi Jaksa Agung untuk mendeponir perkara maka dapat dipahami kebijakan itu diambil tergantung pada mana yang lebih besar manfaatnya dalam logika kepentingan umum yang menguat pada saat itu atau manakah yang lebih besar manfaatnya antara menuntut atau tidak menuntut suatu perkara terhadap kepentingan bangsa pada saat itu.

Jadi, menurut saya, bagaimana pun juga keberadaan asas oportunitas ini penting jika kita lihat dari kacamata kehidupan bernegara  Persoalan bangsa begitu kompleks seiring dengan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Apa jadinya jika hukum di negara ini berubah menjadi batu, kaku dan kasar. Sudah seharusnya setiap aturan hukum itu mempunyai pengecualian berdasarkan kondisi kekinian yang berkembang dan harus disikapi pada saat itu juga. Karena hukum untuk manusia bukan untuk hukum an sich.

Namun patut disadari, penggunaan asas oportunitas dalam suatu perkara harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan penuh pertimbangan karena taruhannya adalah luka pada rasa keadilan di masyarakat. Terkait dengan deponeering perkara Bibit-Chandra, saya percaya, Jaksa Agung sudah mempertimbangkannya dengan matang. Bukan Bibit-Chandra yang menang, bukan pula Anggodo yang kalah. Tapi ini adalah kemenangan rakyat Indonesia.

*Gambar : news.id.msn.com