CSP Adv

21 October 2010

Pembagian Beban Pembuktian dalam Praktek Peradilan Perdata


Hakim yang memeriksa perkara perdata berwenang membagi beban pembuktian di antara para pihak yang bersengketa. Pembagian beban pembuktian tersebut dilaksanakan dengan mengingat asas fair trial dalam persidangan sehingga harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan.

Hukum pembuktian mengajarkan bahwa pembagian beban pembuktian dilaksanakan berdasarkan atas prinsip berikut ini :
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[1]
Perlu dicatat bahwa beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini dibebankan kepada pihak yang lebih mampu untuk membuktikannya.[2]

Sehubungan dengan itu, Prof. R. Subeki, SH[3] mengemukakan pada pokoknya agar Hakim jangan sampai memerintahkan untuk membuktikan hal yang negatif yaitu janganlah membebankan kepada si penjual bahwa ia belum menerima pembayaran karena akan lebih mudah bagi si pembeli untuk membuktikan bahwa ia sudah membayar.[4]

Dapat dijelaskan lebih lanjut tentang membuktikan sesuatu yang negatif atau positif dengan contoh kasus di berikut ini :
A menggugat C melakukan perbuatan melawan hukum karena C menguasai tanah milik A dan saudara-saudaranya tanpa alas hak yang sah, tanah mana merupakan harta warisan dari Almarhum B. Sementara C mendalilkan tanah tersebut telah dijual oleh Almarhum B kepadanya pada saat Almarhum B masih hidup dan Almarhum B telah menerima pembayaran sesuai dengan harga yang disepakati.
Bersandar pada pendapat Prof. R. Subeki, SH di atas maka pembagian beban pembuktian dapat dilakukan sebagai berikut :
  1. Pembuktian tentang adanya alas hak atas tanah obyek sengketa dan tentang adanya hubungan hukum antara A dengan Almarhum B dibebankan kepada pihak A.
  2. Pembuktian tentang adanya transaksi jual beli atas tanah obyek sengketa antara C dengan Almarhum B dan tentang harga tanah obyek sengketa telah dibayar lunas serta tentang Almarhum B telah menerima uang pembayaran tersebut, dibebankan kepada pihak C.
Dari contoh kasus di atas dapat dipahami bahwa beban pembuktian angka 1 (satu) akan lebih mudah dibuktikan oleh pihak A, demikian pula dengan beban pembuktian angka 2 (dua) akan lebih mudah dibuktikan oleh pihak C karena baik beban pembuktian pada angka 1 (satu) maupun pada angka 2 (dua) adalah pembuktian sesuatu yang positif. 

Namun jika posisi beban pembuktian tersebut dibalik; angka 1 (satu) kepada C dan angka 2 (dua) kepada A, maka pembagian beban yang seperti itu berarti mewajibkan A atau C untuk membuktikan sesuatu yang negatif.
_____________________________________
Catatan Kaki :
1Periksa Pasal 163 HIR, Pasal 203 RbG jo. Pasal 1865 KUHPerdata
2Beliau adalah mantan Ketua Mahkamah Agung R.I / Guru besar Hukum Perdata.
3Baca : Prof. R. Subekti, SH, “Hukum Pembuktian”. Cetakan ke 16, Penerbit : Pradnya Paramita, Tahun 2007, halaman 15 – 17.
4Lihat : Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1972, tanggal 5 Maret 1972.


*sumber gambar : childtherapytechniques.com