CSP Adv

21 June 2010

Kerangka Pikir Pembuktian Unsur "Tanpa Hak atau Melawan Hukum" dalam Rumusan Delik Kepemilikan Narkotika


Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik kepemilikan narkotika apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 117 ayat (1), dan Pasal 122 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang terdiri dari:
  1. Unsur “setiap orang”;
  2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”;
  3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”;
  4. Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan tanaman, golongan II dan golongan III".
Penulis secara khusus hanya akan mengemukakan kerangka pikir pembuktian unsur ke-2 (dua) dalam Delik Memiliki/Menguasai Narkotika yaitu unsur "tanpa hak atau melawan hukum", yang akan diawali dengan pembahasan mengenai pengertian “tanpa hak” dan “melawan hukum”.

Dalam ajaran ilmu hukum (doktrin), wederrechtelitjk dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu melawan hukum dalam arti formil dan melawan hukum dalam arti materil. Lamintang sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung, dalam “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana," Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-5 Tahun 2008 pada halaman 44-45, menjelaskan : “Menurut ajaran wederrechtelitjk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dipandang sebagai bersifat wederrechtelitjk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang.

Adapun menurut ajaran wederrechtelitjk dalam arti materil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai wederrechtelitjk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis”.

Senada dengan pendapat Lamintang di atas, Prof. Satochid Kartanegara pada halaman 45 menegaskan: “Wederrechtelitjk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelitjk materil bukan pada undang-undang namun pada asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel”.

Lebih lanjut pada halaman 46, Van Bemmel menguraikan tentang “melawan hukum” antara lain: “1) bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang; 2) bertentangan dengan kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang; 3) tanpa hak atau wewenang sendiri; 4) bertentangan dengan hak orang lain; 5) bertentangan dengan hukum objektif”.

Berkaitan dengan itu, dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ketentuan dimana dalam peredaran, penyaluran dan atau penggunaan Narkotika harus mendapatkan izin khusus atau persetujuan dari Menteri sebagai pejabat yang berwenang atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Vide: Pasal 8 ayat (1) Jis. Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (2) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

Dari pembahasan di atas maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut di bawah ini :

  1. “Tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu setiap perbuatan yang melanggar hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dan atau asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis. Lebih khusus yang dimaksud dengan “tanpa hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tanpa izin dan atau persetujuan dari pihak yang berwenang untuk itu, yaitu Menteri atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau pejabat lain yang berwenang berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
  2. Walaupun “tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” namun sebagaimana simpulan angka 1 di atas yang dimaksud “tanpa hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanpa izin dan atau persetujuan dari Menteri yang berarti elemen “tanpa hak” dalam unsur ini bersifat melawan hukum formil sedangkan elemen “melawan hukum” dapat berarti melawan hukum formil dan melawan hukum materiil.
Berdasarkan 2 (dua) simpulan di atas maka kata “atau” yang terletak di antara frasa “tanpa hak” dan “melawan hukum” bersifat alternatif dalam pengertian 2 (dua) frasa tersebut berdiri sendiri (bestand deel), yaitu apabila salah satu elemen terpenuhi maka unsur ke-2 (dua) terpenuhi pula.

Sementara itu, untuk menentukan apakah unsur "tanpa hak atau melawan hukum "dapat terpenuhi atau tidak maka terlebih dahulu akan dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Ketentuan ini mengandung sedikitnya 3 (tiga) asas hukum fundamental sebagai dasar pemidanaan yaitu asas legalitas atau asas “tiada pidana tanpa aturan undang-undang yang telah ada” (vide: Pasal 1 ayat (1) KUHP), asas culpabilitas yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (afwijzigheid van alle schuld) dan asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum” (afwijzigheid van alle materiele wederrechtelijkheid).

Ketiga asas di atas yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas serta asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum” secara terpadu harus menjadi sandaran dalam Putusan Hakim sehingga Hakim tidak hanya mempertimbangkan aspek yuridis (formal legalistik) dengan berpegang pada asas legalitas semata melainkan harus pula mempertimbangkan aspek non yuridis yang berlandaskan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan” (afwijzigheid van alle schuld) dan asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum” (afwijzigheid van alle materiele wederrechtelijkheid), dengan melihat aspek filosofis dan aspek sosiologis, antara lain aspek psikologis dan aspek sosial ekonomis terdakwa dan lain sebagainya sehingga diharapkan Putusan tersebut dapat memenuhi 3 (tiga) dimensi keadilan, yaitu mendekati keadilan sosial (social justice) dan keadilan nurani (moral justice) yang tidak hanya mementingkan keadilan undang-undang (legal justice) belaka.

Bertolak dari pokok-pokok pemikiran di atas maka dapat diperoleh simpulan dimana untuk menentukan apakah terdakwa dapat dipidana atau tidak dalam perkara a quo tidak cukup dengan hanya ditinjau sebatas materiele daad saja atau tidaklah sekedar membuktikan terdakwa memiliki/menguasai narkotika saja secara tanpa hak atau melawan hukum, melainkan harus pula mencakupi pembuktian ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa dengan bersandar pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (afwijzigheid van alle schuld) dan asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum” (afwijzigheid van alle materiele wederrechtelijkheid) dalam hal bagaimana dan dengan cara apa narkotika itu berada di dalam pemilikan/penguasaan terdakwa sebagai alas bukti terpenuhi atau tidaknya unsur “tanpa hak atau melawan hukum”.

Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu hukum pidana yaitu sebagaimana terurai di bawah ini.

Kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang disamping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah hal yang terlarang.

“Kesengajaan” (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu; 1) kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). 2) kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan 3) kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan “kealpaan” (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).(Vide: Leden Marpaung, “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana”, Penerbit Sinar Grafika,

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan apabila tidak ada bukti yang dapat menunjukkan adanya kesalahan (schuld) dalam hal bagaimana dan dengan cara apa narkotika bisa ada dalam kepemilikan (baca : memiliki atau menguasai) seseorang maka berdasarkan asas culpabilitas, orang tersebut tidak dapat dipersalahkan telah melakukan delik kepemilikan narkotika walaupun secara gramatikal yang bersandar pada asas legalitas perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur delik memiliki atau menguasai narkotika.

*gambar : dunia-narkoba.blogspot.com