CSP Adv

19 October 2010

Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Pelaksanaan Putusan Tanggung Renteng Berupa Pembayaran Sejumlah Uang


Pendahuluan
Ilmu hukum mengajarkan sedikitnya terdapat 3 (tiga) jenis putusan hakim perdata apabila ditinjau dari sifatnya, yaitu bersifat deklarator, konstitutif, dan kondemnator. Jenis putusan yang disebutkan terakhir memerlukan tindakan hukum lanjutan berupa pelaksanaan yang melibatkan partisipasi aktif dari pihak yang kalah, artinya pihak yang bersangkutan harus dengan sukarela melaksanakan putusan pengadilan, atau dengan kata lain berarti bersedia memenuhi kewajibannya untuk berprestasi yang dibebankan pengadilan melalui putusannya.

Dalam hal pihak yang kalah (Tergugat) tidak mau atau lalai melaksanakan putusan pengadilan maka terhadap pihak yang kalah tersebut dapat diambil tindakan paksa berupa eksekusi. Dengan demikian, eksekusi secara sempit dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh negara melalui pejabat pengadilan atas permohonan pihak yang menang, tindakan mana bermaksud agar pihak yang kalah tersebut memenuhi isi putusan pengadilan yang bersifat kondemnator.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa eksekusi pada hakikatnya merupakan proses terakhir penyelesaian suatu perkara yang telah diajukan ke muka sidang. Kedudukan lembaga eksekusi ini menjadi penting untuk menjamin hak-hak perseorangan atau badan hukum yang telah ditentukan oleh negara melalui putusan pengadilan. Terutama bagi pihak yang menang, eksekusi merupakan bagian yang penting bagi seluruh rangkaian perjuangannya dalam rangka mendapatkan hak-haknya melalui proses sidang perdata di pengadilan karena semua proses itu baginya akan menjadi sia-sia jika tujuan ia berperkara yaitu untuk mendapatkan haknya tidak terealisasi secara nyata.

Secara garis besar eksekusi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang. Sehubungan dengan eksekusi yang disebutkan terakhir memerlukan tindakan penyitaan (sita eksekusi). Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg) telah mengatur bahwa Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara perdata dalam rangka melaksanakan putusan itu dapat melakukan penyitaan lalu melakukan pelelangan terbuka atas barang bergerak atau bila tidak ada atau tidak mencukupi dapat juga menyita dan melelang barang tidak bergerak milik pihak yang kalah sebanyak harga yang wajib dibayar ditambah biaya pelaksanaan putusan pengadilan.

Permasalahan

Telah tersebut di atas bahwa eksekusi merupakan upaya paksa terhadap pihak yang tidak dengan sukarela melaksanakan perintah putusan yang dibebankan kepadanya. Keadaan pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan pengadilan dalam praktek berhukum di negeri ini dapat berbentuk tindakan menghalang-halangi eksekusi dan di titik ekstrim berbentuk perlawanan fisik terhadap petugas eksekusi dengan tujuan agar eksekusi tidak dilaksanakan. 

Tentunya keadaan-keadaan itu merupakan masalah tersendiri dan di samping keadaan ekstrim tersebut juga terdapat beberapa permasalahan menyangkut persoalan-persoalan teknis peradilan yang lain sehingga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan eksekusi. Misalnya secara khusus penulis sebutkan yaitu masalah objek penyitaan yang tidak jelas atau berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lain mengenai penyitaan harta pihak yang kalah dalam rangka pelaksanaan eksekusi.

Catatan ini tidak akan membahas secara keseluruhan masalah-masalah tersebut namun akan membatasi diri pada hubungan hukum antara pihak yang menang (pemohon eksekusi) dengan pihak yang kalah (termohon eksekusi). Untuk memperjelas dan mempersempit ruang lingkup pembahasan dalam catatan ini, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
Bagaimanakah hubungan hukum antara Penggugat dengan Para Tergugat dan antara sesama Para Tergugat sebagai akibat hukum dari putusan tanggung renteng mengenai pembayaran sejumlah uang sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut?

Pembahasan

Suatu putusan (kondemnator) yang memuat perintah tanggung renteng berupa pembayaran sejumlah uang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta sekaligus menjadi landasan perikatan antara para pihak. Amar putusan tersebut biasanya berbunyi :
Menghukum kepada Tergugat I, II … dst untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng kepada Penggugat  sebesar Rp. ……………….
Penegasan hubungan hukum baik antara penggugat dengan para tergugat maupun hubungan hukum antara sesama tergugat terdapat dalam kalimat “secara tanggung renteng” dalam amar putusan di atas, sekaligus menjadi pintu masuk berlakunya Pasal 1282 KUH Perdata sehingga harus dianggap sama dengan pengertian perikatan tanggung renteng atau biasa juga disebut perikatan tanggung menanggung yang dikenal dalam KUHPerdata. Hal ini juga berarti bahwa seluruh ketentuan tentang perikatan tanggung renteng yang diatur dalam Pasal 1278 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1295 KUH Perdata sepanjang berkaitan dengan perkara a quo berlaku dalam pelaksanaan putusan ini.

Berikut ini penulis akan menelaah satu per satu ketentuan-ketentuan mengenai perikatan tanggung renteng yang termuat dalam pasal-pasal KUHPerdata khususnya pasal-pasal yang menurut Penulis berhubungan erat dengan pokok permasalahan dalam catatan ini :
Pasal 1282 : Tiada perikatan yang dianggap sebagai perikatan tanggung-menanggung kecuali jika dinyatakan dengan tegas. Ketentuan ini hanya dikecualikan dalam hal mutu perikatan dianggap sebagai perikatan tanggung-menanggung karena kekuatan penetapan undang-undang.
Telaah :  Kekuatan mengikat dan memaksa suatu putusan pengadilan dalam perkara perdata haruslah dimaknai sama dengan penetapan undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini. Dengan demikian maka hubungan hukum baik antara para penggugat dengan para tergugat maupun antara sesama tergugat tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang perikatan tanggung renteng dalam undang-undang ini.
Pasal 1278 : Suatu perikatan tanggung-menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang di antara mereka, membebaskan debitur, meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi.
Pasal 1280 : Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung, manakala mereka semua wajib melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur.
Telaah : Penggugat berkedudukan sebagai kreditur sementara Tergugat I, dan Tergugat II masing-masing berkedudukan sebagai debitur. Dalam perikatan tanggung menanggung dapat terjadi seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Sementara itu, dokrin hukum mengajarkan bahwa apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, disebut tanggung menanggung aktif – berarti setiap kreditur (Penggugat) berhak atas pemenuhan keseluruhan prestasi yaitu pelaksanaan putusan berupa pembayaran sejumlah uang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi maka debitur terlepas dari seluruh kewajibannya dan perikatan berakhir. Selanjutnya, apabila pihak debitur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung pasif – berarti  setiap debitur (Tergugat I dan Tergugat II) wajib memenuhi prestasi seluruh jumlah yang harus dibayar kepada kreditur (Penggugat) dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitur saja, membebaskan debitur-debitur lainnya dari tuntutan kreditur.
Pasal 1283 : Kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung dapat menagih piutangnya dari salah satu debitur yang dipilihnya, dan debitur ini tidak dapat meminta agar utangnya dipecah.
Pasal 1284 : Penuntutan yang ditujukan kepada salah seorang debitur tidak menjadi halangan bagi kreditur itu untuk melaksanakan haknya terhadap debitur lainnya.
Telaah : Ketentuan ini memberikan hak kepada Penggugat untuk menagih pemenuhan prestasi secara sempurna/utuh (lunas) dari salah satu antara Tergugat I atau Tergugat II yang dipilih secara bebas oleh Penggugat tanpa menghapus hak Penggugat untuk mengajukan tuntutan yang sama kepada debitur yang lainnya apabila debitur terpilih tersebut ternyata tidak dapat memenuhi tuntutannya.
Pasal 1289: Kreditur yang telah menyetujui pembagian piutangnya terhadap salah satu debitur, tetap memiliki piutang terhadap para debitur yang lain, tetapi dikurangi bagian debitur yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung.
Pasal 1290 : Kreditur yang menerima bagian salah satu debitur tanpa melepaskan haknya berdasarkan utang tanggung renteng sendiri atau hak-haknya pada umumnya, tidak menghapuskan haknya secara tanggung renteng, melainkan hanya terhadap debitur tadi. Kreditur tidak dianggap membebaskan debitur dari perikatan tanggung-menanggung, jika dia rnenerima suatu jumlah sebesar bagian debitur itu dalam seluruh utang, sedangkan surat bukti pembayaran tidak secara tegas menyatakan bahwa apa yang diterimanya adalah untuk bagian orang tersebut. Hal yang sama berlaku terhadap tuntutan yang ditujukan kepada salah satu debitur, selama orang ini belum membenarkan tuntutan tersebut, atau selama perkara belum diputus oleh Hakim.
Telaah : Ketentuan ini menunjukkan bahwa walaupun Penggugat telah menerima sejumlah uang sebagai pembayaran sebagian dari prestasi dari Tergugat I tidak dapat dianggap telah membebaskan Tergugat II dari perikatan tanggung renteng kecuali jumlah uang yang dibayak oleh Tergugat I tersebut mencukupi seluruh prestasi yang harus dibayar (lunas).
Pasal 1293 : Seorang debitur yang telah melunasi utangnya dalam suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat menuntut kembali dari para debitur lainnya lebih daripada bagian mereka masing-masing. Jika salah satu di antara mereka tidak mampu untuk membayar, maka kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan itu harus dipikul bersama-sama oleh para debitur lainnya dan debitur yang telah melunasi utangnya, menurut besarnya bagian masing-masing.
Telaah : Menurut ketentuan ini bagian prestasi yang seharusnya ditanggung oleh Tergugat II namun saat tiba waktunya ditagih oleh Penggugat padahal Tergugat II tidak dapat membayarnya, maka prestasi tersebut harus ditanggung secara bersama-sama dengan Tergugat I walaupun Tergugat I telah membayar bagian prestasinya.
Pasal 1294 : Jika kreditur telah membebaskan salah satu debitur dari perikatan tanggung-menanggung, dan seorang atau lebih debitur lainnya menjadi tak mampu, maka bagian dari yang tak mampu itu harus dipikul bersama-sama oleh debitur lainnya, juga oleh mereka yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung.
Telaah : Ketentuan ini semakin mempertegas tentang perlindungan hak-hak kreditur untuk menerima prestasi dari para debitur.

Penutup

Dari uraian pembahasan di atas menjadi terang dan jelaslah bagaimana hubungan hukum antara Penggugat dengan Para Tergugat dan antara sesama Para Tergugat sebagai akibat hukum amar putusan tanggung renteng berupa pembayaran sejumlah uang sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut yakni terikat dalam perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung untuk melaksanakan pemenuhan prestasi tersebut secara sempurna.

Akhirnya, penulis dapat menarik beberapa simpulan sebagai berikut :
  1. Hubungan hukum antara para pihak sebagai akibat dari adanya putusan tanggung renteng tentang pembayaran sejumlah uang adalah sebagaimana hubungan hukum antara kreditur dan debitur dalam perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  2. Penggugat berhak menagih pemenuhan prestasi secara sempurna/utuh (lunas) dari salah satu pihak diantara Para Tergugat yang dipilih secara bebas oleh Penggugat tanpa menghapus hak Penggugat untuk mengajukan tuntutan yang sama kepada debitur (Tergugat) yang lainnya apabila debitur (Tergugat) terpilih tersebut ternyata tidak dapat memenuhi tuntutannya.
  3. Pemenuhan sebagian prestasi tanggung renteng yang timbul dari putusan kondemnator pengadilan yang dilakukan salah satu Tergugat, tidak serta merta membebaskan kewajiban hukum mereka (Para Tergugat) untuk melaksanakan pemenuhan prestasi tersebut secara sempurna.

Daftar Bacaan

Abdul Kadir Muhammad, Prof.S.H., Hukum Perdata Indonesia. Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.
                  , Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.
Ali Boediarto, S.H., (ed), Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata. Penerbit: Varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta. 2003.
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan). Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2005.
Ropaun Rambe (ed), Hukum Acara Perdata Lengkap. Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006.
Salim HS, S.H.,M.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2008.