CSP Adv

18 October 2010

Orientasi "Carpe Diem" dalam Memaknai Remunerasi dan Kinerja Pengadilan


Horatius[1] : "Carpe diem, quam minimum credula postero"[2]

Sejak dua tahun terakhir ini warga dharmmayukti (baca : Hakim, pejabat struktural dan fungsional, karyawan dan karyawati di Mahkamah Agung dan badan peradilan di empat lingkungan peradilan serta badan lain yang bernaung di bawah Mahkamah Agung) patut bersyukur dengan diberikannya tunjangan kinerja yang jumlahnya lebih tinggi dari penghasilan pegawai negeri pada umumnya. Tunjangan tersebut sering juga disebut dengan remunerasi.

Adapun yang dimaksud dengan remunerasi adalah pemberian hadiah (penghargaan atas jasa, dsb); imbalan: Pemerintah menetapkan peraturan khusus mengenai -- kepada pegawai negeri.[3]

Ditinjau dari pengertiannya maka pemerintah memberikan remunerasi atau hadiah tersebut sebagai penghargaan atas kinerja warga dharmmayukti mengingat badan peradilan adalah sendi penting dalam suatu negara hukum. Kinerja warga dharmmayukti tersebut mengarah kepada satu tujuan yaitu sebagaimana visi Mahkamah Agung RI sebagai lembaga payung keempat lingkungan peradilan yaitu :
Mewujudkan Supremasi Hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri,efektif, dan efisien serta mendapatkan kepercayaan publik. Profesionial dalam memberi layanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.
Namun untuk menuju ke sana (baca : perwujudan visi) tidaklah mudah - serupa meniti jalan yang terjal nan berliku. Masih banyak keluhan bahkan makian di sana sini yang ditujukan kepada lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman ini baik dari luar (baca: pencari keadilan) maupun dari dalam (baca: warga dharmmayukti sendiri).

Salah satu keluhan yang masih nyaring terdengar adalah keterlambatan penanganan suatu perkara baik dalam masa persidangan sampai dengan dapat diaksesnya putusan oleh pihak yang berkepentingan. Keluhan ini menjadi prioritas utama yang telah dan sedang diperbaiki oleh Mahkamah Agung RI yang dengan gencar mengadakan berbagai kegiatan dengan maksud untuk meningkatkan performa lembaga peradilan tersebut.

Kata terlambat selalu terkait dengan waktu, dimana manusia pada dasarnya senantiasa berpacu dengan waktu. Begitu pentingnya waktu hingga Allah SWT bersumpah atas nama waktu.

Dalam persoalan waktu, tidak ada jalan lain bagi warga dharmmayukti kecuali menghargai setiap detiknya dengan sebuah pengabdian untuk menyelesaikan kewajiban sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (baca : tupoksi-nya) masing-masing sebagai bukti syukur segenap warga terkait dengan adanya remunerasi. Bukankah Allah SWT telah berjanji bahwa akan ditambahkan rezki bagi meraka yang bersyukur dari arah yang tidak disangka-sangka?

Sungguh jika saja segenap warga dharmmayukti dapat menghayati dan mengamalkan pameo yang penulis kutip di awal tulisan ini dengan baik sebagai pemaknaan terhadap remunerasi dan kaitannya dengan kinerja pengadilan maka keluhan mengenai keterlambatan penanganan suatu perkara baik secara teknis maupun administratif dengan sendirinya akan sirna dan terganti dengan kecintaan para pencari keadilan kepada rumah keadilannya tanpa harus tampil di media massa dalam bentuk perang opini dan pencitraan semu.

Catatan kaki :

[1] Quintus Horatius Flaccus (8 Desember 65 SM - 27 November 8 SM), atau lebih dikenal sebagai Horatius adalah seorang penyair terkenal di Kekaisaran Romawi

[2] Yang berarti: "petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok." Kalimat ini terkenal dengan adagium "Carpe Diem". Maksud kalimat ini adalah orang dianjurkan untuk hidup memanfaatkan hari ini secara lebih optimal tidak menunda sesuatu untuk hari esok, dengan begitu kita lebih dapat memanfaatkan waktu yang diberikan secara optimal. Kalimat ini sering disalahartikan sebagai "makan dan minumlah, karena esok kita mati"